Ambon, PT- Law Office Fredi Moses Ulemlem & Partners resmi melayangkan surat kepada Bapak Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo guna meminta atensi dan ketegasan dalam penanganan dugaan tindak pidana korupsi terkait penggunaan Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku.
Dugaan ini melibatkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Eduard J.S. Davidz, yang disebut terlibat dalam pengelolaan dan pembagian proyek infrastruktur jalan di Pulau Wetar.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan bahwa terdapat sejumlah proyek infrastruktur jalan, seperti pembangunan jalan Erai – Nabar – Esulit senilai Rp 12 miliar serta jalan Lurang – Uhak senilai Rp 16 miliar, yang realisasinya diduga tidak sesuai kontrak.
Dana tersebut bersumber dari pinjaman PEN yang seharusnya digunakan untuk pemulihan ekonomi pasca-COVID-19.
Tim Ditreskrimsus Polda Maluku disebut telah melakukan peninjauan lapangan pada tahun 2024, namun hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai status hukum kasus tersebut.
Dugaan mark-up anggaran dan praktik korupsi semakin menguat, sementara belum ada kejelasan resmi terkait status penyelidikan maupun penetapan tersangka.
Dalam surat resmi bernomor 011/SP/FMU-LAW OFFICE/V/2025, Fredi Moses Ulemlem menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas, serta penegakan hukum yang adil dalam penanganan kasus ini.
Pihaknya mendorong agar Kapolri memerintahkan Direktur Kriminal Khusus Polda Maluku untuk segera menetapkan tersangka berdasarkan temuan lapangan yang telah diperoleh.
Langkah ini penting guna memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Maluku Barat Daya dan menegaskan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu (equality before the law).
Sebagai advokat, Fredi Moses Ulemlem menegaskan bahwa peran serta masyarakat dan profesional hukum diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2018 serta PP Nomor 43 Tahun 2015, termasuk hak untuk memberikan informasi dugaan tindak pidana korupsi, memperoleh pelayanan, dan perlindungan hukum.
Apabila penanganan perkara ini diabaikan atau ditutupi, hal ini bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga dapat dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dugaan adanya praktik “main mata” antara pejabat dan kontraktor dalam proyek tersebut menjadi sorotan serius dan harus diusut tuntas. (PT)