Ambon, PT – Pindahnya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ke pulau Moa membuat skandar bagi masyarakat di sekitar.
Yang mana diketahui secara bersama bahwa SPBU yang dulunya berlokasi di Pulau Lakor harus berpindah atas keputusan Pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD).
Hal ini mengakibatkan Warga Lakor harus membeli bahan bakar minyak (BBM) dengan harga selangit, mencapai Rp25.000 hingga Rp50.000 per liter.
Kondisi ini membuat masyarakat setempat tercekik. Suara protes menggema, rakyat menjerit, dan kebijakan ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu sosial.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Maluku, John Laipeny dari Fraksi Partai Gerindra, menerima langsung keluhan masyarakat Lakor. Ia menegaskan bahwa krisis BBM ini menambah penderitaan warga di tengah lemahnya respon pemerintah daerah.
“Sejak SPBU dipindahkan dari Lakor ke Moa, harga BBM naik gila-gilaan, bahkan ada yang sampai Rp50 ribu per liter. Warga datang langsung menemui saya, mereka menjerit!” tegas Laipeny saat reses, Senin (15/9/2025).
Laipeny juga menyoroti operasional SPBU di Moa yang masih tersendat. Dampaknya, distribusi BBM ke wilayah sekitar seperti Marcelah dan Babar Timur ikut terganggu karena agen dan SPBU tidak beroperasi rutin.
Menurut Laipeny, masalah ini bukan hanya soal bisnis, tetapi soal keadilan distribusi BBM di Maluku Barat Daya.
“Agen BBM di Babar Barat jarang beroperasi hingga ke Babar Timur. Kalau memang ada orang dekat Gubernur dan Bupati yang mengelola SPBU, seharusnya mereka buka di Lakor, Marcelah, dan Babar Timur. Rakyat juga punya hak yang sama,” tegasnya.
Selain harga BBM, masyarakat Lakor juga menanggung dampak sosial-ekonomi yang semakin meluas. Sebelumnya, mereka rela menyerahkan lahan kebun untuk pembangunan ibu kota kabupaten. Kini, kebun mereka hilang, sementara akses ke lahan baru membutuhkan motor dan BBM yang mahal.
“Dulu mereka bisa jalan kaki ke kebun, sekarang butuh kendaraan. Tapi harga BBM mencekik. Bagaimana mereka mau bertani?” kata Laipeny.
Kondisi memilukan juga terlihat ketika anak-anak sekolah di Lakor terpaksa menjual kelapa muda di pinggir jalan demi membantu orang tua mencari nafkah.
Laipeny mendesak Pertamina dan Pemerintah Daerah segera mengambil langkah tegas untuk mengatasi krisis BBM ini.
“Pertamina harus turun tangan melihat langsung kondisi di Lakor. Pemkab juga jangan sibuk dengan proyek pusat, tapi buta terhadap penderitaan rakyat di pelosok. Lahan rakyat sudah diambil, jangan rampas juga hak hidup mereka!” tegasnya.
Kondisi di Pulau Lakor menjadi potret nyata kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Distribusi BBM kacau, ekonomi stagnan, kendaraan hanya dimiliki segelintir orang, dan mayoritas warga semakin terpuruk.
“Warga Lakor tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin keadilan dan hidup layak. Itu hak mereka sebagai warga negara Indonesia,” pungkas Laipeny. (PT)