Legalisasi minuman tradisional bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga soal moral, kesehatan, dan harmoni sosial.
Oleh: Nikolas Okmemera
Penulis Opini / Advokat & Pemerhati Kebijakan Publik Maluku
Lead
Sopi bukan sekadar minuman. Ia hadir dalam pesta panen, pernikahan, hingga perundingan adat. Namun, wacana legalisasi sopi memunculkan pertanyaan besar: bisakah Maluku menempuh jalur legal seperti Bali dengan araknya, Manado dengan cap tikusnya, atau NTT dengan sopia-nya, sementara masyarakatnya jauh lebih beragam secara suku, agama, dan keyakinan?
Di banyak kampung di Maluku, sopi bukan sekadar minuman; ia adalah cermin ritual adat, simbol solidaritas, dan sumber penghidupan. Namun, wacana regulasi—bukan legalisasi penuh—menggelinding di tengah keberagaman sosial-religius yang tinggi. Bagaimana memastikan keberlanjutan tradisi tanpa mengorbankan kesehatan, moral, dan kerukunan?
Sopi dan Identitas Lokal
Bagi sebagian masyarakat Maluku, sopi adalah warisan. Dari proses penyadapan nira pohon lontar, fermentasi alami, hingga penyulingan tradisional, semuanya adalah pengetahuan turun-temurun. Menghapusnya berarti mengabaikan identitas budaya yang telah hidup berabad-abad. Namun, selama ini sopi beroperasi di “wilayah abu-abu” hukum. Larangan total hanya mendorongnya masuk ke pasar gelap, memunculkan risiko keracunan dari oplosan, dan menghilangkan peluang ekonomi bagi produsen tradisional.
Data Kesehatan: Risiko Keracunan Dalam Lika-liku Oplosan
Menurut laporan Medecins Sans Frontières (MSF), Indonesia mencatat 329 insiden keracunan metanol akibat minuman ilegal dalam kurun 2019–2024 jumlah tertinggi di dunia GoodStats Data. Dilihat dari angka ini, dengan Maluku masuk dalam banyak regional dengan pasar gelap sopi, risiko keracunan jelas riil dan membahayakan nyawa banyak pihak. Namun data lokal khusus Maluku belum tersedia secara sistematis, menandai kebutuhan mendesak untuk riset kesehatan berbasis daerah.
Potensi Ekonomi & Pajak: Dari Jerry Can ke APBD
Sebuah studi di Negeri Soya (Ambon) mencatat produksi sopi berkisar 7–14 jerigen seminggu, setiap jerigen 5 liter; penghasilan produsen sekitar Rp 5–6 juta per bulan Jurnal UNPATTI. Jika satu produsen menghasilkan 10 jerigen seminggu (50 liter), dan dijual dengan margin wajar, potensi pendapatan daerah via pajak katakanlah 10% berpotensi mencapai ratusan juta rupiah per produsen per tahun. Bayangkan jika ratusan produsen terdaftar dan legal—akan terbuka ruang ekonomi baru sekaligus mendorong transparansi fiskal daerah.
Perbandingan Regulasi: Belajar dari Daerah Lain
Bali (Arak): Legal melalui Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2020, dengan standar mutu, batasan lokasi penjualan, dan kontrol usia konsumen malteng.liputan.co.id.
Sulawesi Utara (Cap Tikus): Telah mendapat izin edar dari BPOM, dengan manajemen produksi dan tarif pajak regional malteng.liputan.co.id.
NTT (Sopia): Banyak kabupaten di NTT telah memiliki regulasi lokal untuk mengatur produksi dan distribusi sopia secara ketat, melindungi produsen tradisional dan kesehatan konsumen malteng.liputan.co.id.
Beberapa bagian di Maluku seperti MBD dan KKT telah memiliki perda atau perbup pengaturan sopi (bukan legalisasi penuh) MediaRasionalJurnalMaluku.
Bali, Manado, dan NTT membuktikan bahwa minuman tradisional bisa diatur resmi tanpa menghilangkan nilai budayanya. Tapi Maluku tidak bisa sekadar menyalin. Formulanya harus disesuaikan dengan identitas sosial yang majemuk, sensitif terhadap norma agama, dan responsif terhadap kekhawatiran publik.
Suara Tokoh: Adat dan Agama Berbicara
Urbanus Y. Batkunde (GMKI Saumlaki) menyambut positif perda di KKT (Perbup No. 2 Tahun 2025), menyebutnya sebagai “langkah berani menyelamatkan hajat hidup orang banyak” dan “pelestarian nilai budaya dan ekonomi komunitas” JurnalMaluku.
MUI Maluku dengan tegas menyesalkan pernyataan Wakil Gubernur terkait legalisasi sopi, menilai tidak pernah dilibatkan dalam diskusi apapun dan meminta pihak pemerintah “lebih berhati-hati agar tidak menyinggung umat Islam”
Keuntungan Legalisasi
Pengakuan ekonomi & budaya Produsen tradisional mendapat perlindungan hukum, akses pasar resmi, dan potensi peningkatan pendapatan.
Pengawasan mutu & kesehatan Standarisasi kadar alkohol dan proses higienis dapat menekan risiko kesehatan.
Pendapatan daerah Pajak sopi bisa menjadi sumber APBD untuk program kesehatan, rehabilitasi, dan pemberdayaan desa.
Tantangan Maluku: Keberagaman yang Rumit
Perbedaan mendasar Maluku dibanding daerah lain adalah tingkat heterogenitas penduduknya. Bali relatif homogen secara budaya Hindu, Manado mayoritas Kristen, NTT pun dominan Katolik/Protestan. Maluku justru memadukan berbagai agama dan suku yang hidup berdampingan, dengan sejarah konflik yang belum sepenuhnya hilang dari ingatan.
“Keberagaman adalah kekayaan Maluku, tetapi dalam kebijakan publik, ia juga berarti tantangan membangun konsensus.”
Di beberapa komunitas, sopi diterima sebagai bagian adat. Di komunitas lain, ia dianggap tabu atau bahkan dilarang secara tegas oleh ajaran agama. Perbedaan pandangan ini membuat legalisasi di tingkat provinsi berisiko memunculkan gesekan sosial.
Resistensi Organisasi Keagamaan
Organisasi keagamaan memegang peran besar di Maluku. Penolakan mereka biasanya didasari pada tiga hal:
Larangan teologis alkohol dianggap haram/dosa
Kekhawatiran sosial alkohol dikaitkan dengan kekerasan, kriminalitas, dan kecelakaan
Tanggung jawab moral pemuka agama merasa wajib melindungi umat
Mengabaikan posisi ini sama saja dengan mengundang konflik. Dialog lintas iman menjadi kunci agar kebijakan tidak memecah belah.
Kerangka Kebijakan yang Realistis
Dialog multi-pihak: pemerintah, tokoh adat, pemuka agama, produsen, tenaga kesehatan
Aturan wilayah & waktu: penjualan di zona tertentu, jam terbatas, larangan di dekat rumah ibadah
Standar mutu & sertifikasi: produsen terdaftar, proses higienis, kadar alkohol terukur
Pilot project: uji coba di kabupaten yang siap secara budaya
Pajak & reinvestasi sosial: dana untuk edukasi, rehabilitasi, dan pemberdayaan
Edukasi konsumsi bertanggung jawab: libatkan tokoh agama/adat sebagai penyampai pesan
Penutup
Legalisasi sopi di Maluku adalah ujian: bisakah kebijakan publik menjaga tradisi sambil melindungi kesehatan, moral, dan kerukunan sosial? Jawabannya bergantung pada cara kita mengelola keberagaman ini. Jika dilakukan dengan hati-hati, inklusif, dan berbasis bukti, sopi bisa menjadi simbol kebersamaan. Tetapi jika tergesa-gesa dan abai pada sensitivitas sosial, ia bisa berubah menjadi sumber perpecahan baru.
“Legalisasi sopi bukan sekadar izin menjual minuman. Ia adalah keputusan tentang masa depan harmoni sosial Maluku.” (PT)










