Ambon, pusartimur.com – Menyusul laporan pengaduan Marcus (Max) Aponno, kepada Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Maluku atas dugaan menjadi salah satu korban ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Ambon Wilson S. Manuhua atas Putusannya yang dinilai aneh dalam kasus Permohonan Penetapan Hak Wali dan Penjualan Warisan dari anak yang berusia di bawah 10 tahun karena ditinggal mati ayah berikut ibunya. Kepada media ini Kamis, 13/06/24, petugas meja informasi dan pengaduan PT Ambon, Puji Harian, S.H, M.Hum melalui Virgin Rismayanti (petugas meja Pengaduan dan Informasi) mengaku kalau pihak PT Ambon telah menerima laporan pengaduan dari Marcus Aponno yang mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Maluku itu.
Disebutkan sebagai tindak lanjutnya Pengadilan Tinggi Ambon telah membentuk panitia untuk melaksanakan tugas mengungkap kebenaran daripada laporan mantan Ketua PWI Maluku yang telah diterima tersebut.
Menurut Virgin Rismayanti, Pengadilan Tinggi telah membentuk tim pemeriksaan dengan mengeluarkan SK nomor 127/KPT.W27-U/SK.KP8.1/VI/2024 untuk memeriksa hakim Wilson S. Manuhua.
Selanjutnya kepada wartawan Rismayanti mengatakan bahwa Marcus Aponno telah melaporkan dugaan ketidakadilan oknum Hakim Wilson kepada Ketua Pengadilan Tinggi Maluku yang tembusannya disampaikan kepada Mahkamah Agung dan juga kepada Ketua Pengadilan Negeri Ambon lantaran merasa banyak hal yang tidak dipertimbangkan oleh hakim tersebut bahkan terkesan ada semacam spekulasi yang dibuat oleh oknum hakim tersebut.
Kepada wartawan John Aponno, anak dari Marcus Aponno sebagai pelapor malah mempertanyakan apa yang menjadi dasar utama pemberian putusan nomor 83 yang diberikan oleh hakim Wilson kepada James Dean Pasanea (Denny) untuk menjadi wali dan ijin jual, membalik nama serta memidahtangankan terhadap warisan anak dari Marcy Aponno dengan Roby Sajori.
“Dari situ saja kita sudah merasa bahwa ada indikasi buruk dalam memberikan Wali dan izin jual serta izin balik nama. John mempertanyakan Ijin jual buat siapa? Memindahtangankan dan balik nama buat siapa? Itu bukan haknya dia. Biarkan harta ini menjadi milik Diego Maxiel Sajori dan pada saat dia dewasa biarkanlah dia dipergunakan untuk masa depannya.
Jadi menurut kami dari pihak keluarga, cobalah Hakim berpikir secara rasional apalagi hakim-hakim ini mereka juga punya anak. Hakim jangan menjadi corong dari hukum dan Undang-undang saja akan tetapi harusnya menjadi corong dari keadilan. Semua orang tua mau yang terbaik untuk anaknya.”ujarnya sembari menambahkan apalagi penetapan 83 ini diberikan kepada James oleh Hakim Wilson itu tidak melalui rekomendasi Dinas Sosial yakni berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2019 tentang perwalian.
“Jadi kita merasa bahwa kalau Hakim mengabulkan penetapan itu berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah maka apakah ia pernah melihat dan membaca Peraturan Pemerintah Nomor 29 tersebut?
Apakah mungkin Hakim sudah diberikan janji-janji palsu oleh pemohon?. Itu saja. jadi kita merasa bahwa baru pernah terjadi dan baru pernah kedengaran seorang pemohon itu diberikan hak Wali dan Ijin jual dalam satu paket, yang notabene bukannya hak dia untuk menjual warisan tersebut.”sambung Aponno.
Kepada wartawan ia mengatakan harapan daripada keluarga agar Hakim bisa memberikan suatu keadilan apalagi para hakim itu diberikan tempat duduk di situ untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apanno berharap kepada pimpinan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi agar mencoba untuk menyukseskan apa yang mereka tulis di gedung-gedung mereka (Pengadilan) yakni tanpa suap, membangun keadilan haruslah coba ditegakkan dan jangan lah karena janji atau berupa apalah akhirnya membalikkan keadaan dan merugikan sepihak.
Sementara itu pantauan media ini menyebutkan sidang penetapan hak Wali dan Ijin jual yang digelar di PN Ambon dengan hakim tunggal Wilson Shriver Manuhua terkesan tidak dilaksanakan secara profesional dan berkeadilan hal ini nampak pada sidang yang digelar di mana dua keluarga dari Diego Sajori yang hadir pada sidang tersebut diusir keluar oleh Hakim Wilson pada saat berlangsungnya sidang sementara sidang tersebut adalah sebuah sidang yang sifatnya terbuka untuk umum, akan tetapi sang Hakim tidak mengetuk palu dan mengumumkan bahwa sidang tersebut adalah sidang yang bersifat terbuka dan dibuka untuk umum.
Dan yang lebih aneh lagi saat sidang berlangsung bukannya Hakim yang bertanya kepada kedua orang yang ikut menonton jalannya sidang tetapi sang pengacara Magdalena Lapi yang bertanya kemudian ditegaskan oleh Hakim dan meminta dua orang tersebut untuk segera meninggalkan ruang sidang padahal sekali lagi sidang itu sifatnya sidang yang terbuka dan dibuka untuk umum.
Terkesan bahwa untuk menguatkan alibi sang Hakim maka sang Hakim tidak mengetuk palu untuk menyatakan bahwa sidang tersebut terbuka dan dibuka untuk umum.
Oleh sebab itu, tindakan Hakim seperti ini sudah dipertanyakan oleh keluarga sejak awal bahkan keluarga sudah menduga sejak awal hasil daripada sidang itu seperti apa dan dugaan keluarga itu terbukti adanya bahwa Hakim diduga tidak profesional dalam mengambil keputusan atau dengan kata lain keputusan sang Hakim keluarkan tidaklah adil dan ini sangat disesalkan oleh keluarga.
Untuk diketahui bahwa dua hari sebelum sidang itu berlangsung telah ada surat keberatan dari pihak keluarga untuk agar Hakim Wilson mempertimbangkan untuk membatalkan sidang tersebut akan tetapi surat yang disampaikan oleh keluarga tidak pernah digubris bahkan diduga tidak menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam mengambil keputusan tersebut.
Hal ini sangat disesalkan oleh pihak keluarga pada akhirnya. (PT)