Timika, PT– Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) menegaskan pentingnya peran lembaga adat dalam proses legalitas kepemilikan lahan di Kabupaten Mimika. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua II LEMASA, Sem W. Bukaleng, yang juga merupakan pengacara tanah adat, dalam pernyataan kepada media pada Selasa (29/7/2025) di Timika.
Bukaleng menekankan bahwa penyelesaian persoalan hak atas tanah di wilayah Mimika seharusnya dilakukan melalui koordinasi dengan dua lembaga adat resmi, yakni LEMASA (Suku Amungme) dan LEMASKO (Suku Kamoro), guna mengurangi konflik dan sengketa lahan yang terus meningkat.
“Kami punya hak atas tanah kami. Maka dua lembaga, LEMASA dan LEMASKO, harus dihargai secara kelembagaan. Hak atas tanah adat harus mendapatkan pengakuan penuh dari negara,” tegas Bukaleng.
Minim Koordinasi, Sengketa Lahan Meningkat
LEMASA menyoroti kurangnya koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Mimika dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan lembaga adat dalam proses penerbitan sertifikat lahan. Menurut Bukaleng, ketidakhadiran mekanisme adat dalam proses legalisasi tanah menjadi penyebab utama meningkatnya konflik agraria di wilayah tersebut.
“Kalau semua proses melalui lembaga adat, pasti lebih jelas. Rekomendasi dari lembaga adat adalah dasar pengakuan hak ulayat. Jika ada masalah, harus diselesaikan dengan mekanisme adat terlebih dahulu sebelum ke jalur hukum formal,” katanya.
Sengketa Yayasan Kalam Kudus Jadi Sorotan
Salah satu kasus yang saat ini sedang ditangani oleh LEMASA adalah sengketa tanah antara Yayasan Kalam Kudus dan dua pihak lainnya atas lahan sekolah di Kampung Nawaripi. Mediasi adat telah dijadwalkan, namun pihak yayasan belum menghadiri undangan tersebut.
“Kami sudah kirim undangan mediasi adat, tapi kalau berikutnya tidak hadir, maka kami akan menempuh langkah lain sesuai adat,” ungkapnya.
Sorotan pada Praktik BPN Pasca Pemekaran Mimika
Bukaleng juga mengkritisi praktik Badan Pertanahan Nasional yang dinilai kerap menerbitkan sertifikat baru pasca pemekaran Mimika dari Kabupaten Fak-Fak, tanpa mengindahkan eksistensi sertifikat lama atau hak adat yang sudah ada.
“Sertifikat itu baru sah jika mendapat pengakuan dari lembaga adat. Tanpa itu, sertifikat tidak memiliki kekuatan hukum adat,” tandasnya.
LEMASA Serukan Regulasi Tegas dan Penghargaan terhadap Adat
LEMASA berharap agar pemerintah daerah dan BPN segera membangun mekanisme formal yang mengharuskan keterlibatan lembaga adat dalam semua proses administrasi pertanahan, sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan untuk menekan konflik agraria yang kian meluas di Mimika. (PT)